Luka-Luka Yang Masih Basah.

Jiwa—Bumi.
3 min readJan 13, 2024

--

Trigger Warning; suicidal-thought, depression, family issues, self-harm, bullying.

Jika Sajiwa Arubumi yang baru genap lima belas itu diminta untuk berpikir mengenai masa depan yang ingin ia jalani, maka kalimat pertama yang akan ia ucapkan adalah kematian.

Ia tidak lagi memiliki keinginan untuk melanjutkan kehidupan yang ia anggap seperti sampah. Hari-hari terasa berat karena menanggung rasa bersalah sang bunda tinggalkan padanya saat ia baru memasuki sekolah dasar.

Orang bilang, kehidupannya sempurna. Seolah kecacatan tidak memiliki tempat untuk berada di dalam hidupnya. Ia dilimpahkan oleh kekayaan, barang mewah, dan bisa makan di restoran bintang lima. Mungkin memang akan sempurna jika keluarganya benar-benar menerimanya sebagai anak. Ia tidak memerlukan materi, ia ingin mengisi lubang besar yang berada di hatinya dengan kasih sayang — suatu hal yang sangat mustahil ia dapatkan. Tidak pernah ia pahami mengapa dirinya bisa berada di rumah megah — yang terasa begitu sesak bila ia masuki.

Sembilan tahun yang lalu, Sajiwa bertemu seorang pria yang umurnya hampir menginjak kepala tiga. Pria itu mengaku sebagai ayahnya — ia tidak percaya, karena bunda selalu mengatakan bahwa ayahnya sudah lama meninggal sebelum ia lahir. Sajiwa menolak keras untuk dibawa pria itu.

Pria itu pula tidak kehabisan akal, setelah berbagai rayuan dan bujukan ia lontarkan kepada Sajiwa, ia berhasil membawa perempuan kecil itu kerumah megahnya.

Dan di sinilah ia, dengan kehadirannya yang sudah sering kali ditolak di rumah itu. Ia kembali bertanya, ‘mengapa aku dibawa kesini jika kehadiranku saja tidak mereka terima?’

Ia masih enggan memanggil pria itu dengan sebutan ‘Ayah’ serta ia merasa tidak enak hati kepada wanita yang berstatus istri pria itu. Ia tidak paham dengan semua itu, Sajiwa kecil tidak paham mengapa istri ‘ayahnya’ menatapnya dengan benci, Sajiwa kecil paham dengan apa yang terjadi, Sajiwa kecil merasa asing dengan lingkungan barunya. Terlebih, berkali-kali ia dijahili oleh Mai — anak semata wayang ayahnya dan istrinya yang setahun lebih muda dari Sajiwa.

Semakin bertambah usianya, semakin banyak pula yang menganggu pikirannya. Energi-energi negatif yang selalu ia terima selama bertahun-tahun, membuatnya menjadi susah untuk berfikir jernih. Tiga tahun sekolah menengah pertamanya ia habiskan dengan perundungan dan ketidakpedulian orang dewasa di sekitarnya. Pada kelas dua, ia mulai mengenal cara untuk menyakiti dirinya sendiri. Ia menyimpan berbagai macam silet dan cutter, tentu saja tidak ada yang mengetahuinya. Ia menutup semua luka sayatannya dengan rapih.

Semuanya semakin parah begitu ia berada di kelas dua menengah atas. Ayah dan ‘ibunya’ semakin sering melakukan kekerasan fisik kepadanya dan Mai semakin gencar merundungnya baik di rumah ataupun di sekolah.

Perlakuan itu ia dapatkan karena ia adalah anak haram, Sajiwa adalah anak hasil perselingkuhan ayahnya dan sekretarisnya di kantor; yang merupakan ibu kandungnya. Fakta itu ia dengar dari mulut ‘ibunya’ sendiri ketika beliau melampiaskan amarahnya dengan cara memukuli dirinya.

“Lo itu cuman anak haramnya Andrian! Jangan belagu! Udah dikasi hidup enak kok ngelunjak terus?! Tahu diri, dong?! Ibu sama anak sama aja, sama sama jalang! Perusak!”

Itulah yang ia ingat, kata-katanya yang sering berputar di kepalanya seperti riuhnya kembang api di malam tahun baru. Ia tahu, ia paham bahwa kehadirannya tidak pernah diinginkan. Kehadirannya hanya membawa malapetaka kepada keluarga ayahnya, ia dianggap sebagai makhluk menjijikkan karena terlahir dari rahim seorang jalang. Ia dituntut untuk menjadi sempurna, agar bisa lebih baik daripada bundanya. Bunda tidak jahat, bunda memang salah. Mau bagaimana pun Sajiwa tetaplah anak dari kedua orang tuanya.

Ia bisa bersembunyi dari garis keluarganya, tetapi ia tidak bisa lari dari itu. Sesak, terasa seperti cekikikan di tengah gelap dan lembab suatu ruangan.

--

--

Jiwa—Bumi.
Jiwa—Bumi.

No responses yet